TUGAS
MAKALAH
“PERTALIAN
KELUARGA RAJA-RAJA JAWA KULON DENGAN KERATON PAKUNGWATI”
Diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
Dosen Pengajar : Agus Supriyadi,
S.Pd., M.Si.
Disusun Oleh :
RIA
APRIANI (111010148)
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
SWADAYA GUNUNG DJATI
CIREBON
2012
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pertalian Keluarga Raja-Raja Jawa
Kulon dengan Keraton Pakungwati”. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga
makalah ini memberikan informasi bagi yang membaca dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Kuningan, Januari 2012
Penulis,
BAB
I
PENDAHULUAN
Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimilikki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan adalah
segala hal yang dimilikki oleh manusia yang hanya diperolehnya dengan belajar
dan menggunakan akalnya. Manusia dapat berjalan karena kemampuan untuk berjalan
itu didorong oleh nalurinya dan terjadi secara alamiah. Tercipta atau
terwujudnya suatu kebudayaan adalah sebagai hasil interaksi antara manusia
dengan segala isi alam raya ini. Manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal
dan pikirannya menjadikan mereka khalifah di muka bumi ini dan diberikan
kemampuan yang disebutkan oleh Supartono sebagai daya manusia. Manusia
memilikki kemampuan daya antara lain akal, intelegensia, intuisi, perasaan,
emosi, kemauan, fantasi, dan perilaku.
Peradaban
merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan bagian-bagian atau
unsure kebudayaan yang dianggap halus, indah, dan maju. Konsep peradaban tidak
lain adalah perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu yang
tercermin dalam tingkat intelektual, keindahan, teknologi, spiritual yang
terlihat pada masyarakatnya. Peradaban merupakan tahap-tahap tertentu dari
kebudayaan masyarakat tertentu pula, yang dicirikan oleh tingkat ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni yang telah maju. Suatu masyarakat yang telah
mencapai tahapan peradaban tertentu, berarti telah mengalami evolusi kebudayaan
yang lama dan bermakna sampai pada tahap tertentu yang diakui tingkat iptek dan
unsur-unsur budaya lainnya.
Hasil
penyelusuran silsilah Raja-Raja yang pernah berkuasa di tatar Sunda dan Jawa
Barat mengandung indikasi, bahwa Raja-Raja Jawa Kulon pada akhir masa
perkembangannya bermuara di Kerajaan Pesisir Laut Utara atau Cirebon. Berdiri
dan jatuhnya kerajaan di Jawa Barat saling berganti dan jika tidak berganti pun
akan mengalami proses kemunduran yang cukup berarti yang pada akhirnya akan
mengalami nasib kehancuran, karena itu ada satu aspek dan strategi yang
dilakukan oleh para Raja-Raja Jawa Kulon agar dapat mempertahankan kelestarian
Kerajaan dan lestarinya keluarga, yaitu menciptakan perkawinan antar keluarga,
sehingga akan Nampak kontinuitas silsilah darah biru/urat kuning atau kaum
ningrat yang terus memerintah Jawa Kulon.
Terkikisnya
Raja-Raja di Ujung Kulon, maka munculah Raja-Raja Kaindraan, Medang Djati,
Mandala Menir, Sumedang, dan Galuh Pasundan, kemudian Pajajaran, yang secara
principal kelanjutan dari Kerajaan yang telah runtuh. Setelah Pajajaran dengan
Prabu Siliwangi terdesak, maka misi Kerajaan yang mementingkan trah atau keturunannya
sudah mulai menipis dan berganti haluan kepada kepentingan syiar Islam.
Putra-putri Prabu Siliwangi yaitu Walangsungsang dan Lara Santang dan Raja
Sengara yang pada masanya telah ikut memberikan andil yang cukup besar pada
perkembangan dan semaraknya Islam di bumi Jawa Kulon. Penyebaran Islam mulai
dilaksanakan secara marathon dan intensif ketika Cirebon dipimpin oleh Syarif
Hidayatullah, cucu Prabu Siliwangi. Dari kondisi seperti itu dapat ditarik
benang merahnya, bahwa silsilah Raja-Raja di Ujung Kulon, Galuh, dan Pajajaran
pada hakekatnya memilikki ikatan trah dengan Cirebon.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Baluarti Kraton Kasepuhan Cirebon
Pada abad XV (± tahun
1430) Pangeran Cakrabuwana Putra Mahkota Pajajaran membangun Keraton yang
kemudian diserahkan kepada putrinya Ratu Ayu Pakungwati, maka Kratonnya dinamai
Kraton Pakungwati (hingga sekarang dikenal dengan sebutan Dalem Agung
Pakungwati). Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya Syach Syarif
Hidayatullah (Putra Ratu Mas Larasantang adik Pangeran Cakrabuwana) lebih
dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Djati, kemudian Sunan Gunung Djati
dinobatkan sebagai Pimpinan atau Kepala Negara di Cirebon dan bersemayam di
Kraton Pakungwati. Semenjak itu Cirebon merupakan pusat pengembangan agama
Islam di Jawa dengan adanya Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Gunung Djati
dan peninggalanpeninggalannya diantaranya Mesjid Agung Sang Cipta Rasa.
Pada abad XVI Sunan
Gunung Djati wafat, kemudian Pangeran Emas Moch. Arifin cicit dari Sunan Gunung
Djati bertahta menggantikannya. Kemudian pada tahun Candra Sangkala Tunggal Tata
Gunaning Wong atau 1451 Saka yaitu tahun 1529 beliau mendirikan Kraton baru di
sebelah barat daya Dalem Agung Pakungwati, Kraton ini dinamai Kraton Pakungwati
dan beliau pun bergelar Panembuhan Pakungwati I. Kratin Pakungwati mengambil
dari nama Ratu Ayu Pakungwati putrid Pangeran Cakrabuwana yang menikah dengan
Sunan Gunung Djati, putrid ini cantik rupawan dan berbudi luhur dapat
mendampingi suami di bidang pembinaan negara dan agama juga penyayang rakyat.
Pada ± tahun 1549
Mesjid Agung Cipta Rasa kebakaran, Ratu Ayu Pakungwati yang sudah tua itu turut
memadamkan api, api dapat dipadamkan namun Ratu Ayu Pakungwati wafat. Semenjak
itu nama/sebutan Pakungwati dimulyakan dan diabadilkan oleh nasab Sunan Gunung
Djati. Pada ± tahun 1679 didirikan Kraton Kanoman oleh Sultan Anom I (Sultan Badridin)
maka semenjak itu Kraton Pakungwati disebut Kraton Kasepuhan hingga sekarang
dan Sultannya bergelar Sultan Sepuh. Kasepuhan artinya tempat yang sepuh/tua,
jadi antara Kasepuhan dan Kanoman itu awalnya yang tua dan yang muda (kakak
beradik). Lokasi bangunan Kraton Kasepuhan membujur dari Utara ke Selatan atau
menghadap ke Utara artinya menghadap magnet dunia, arti falsafahnya Sang Raja
mengharapkan kekuatan.
B. Sejarah dan Silsilah Pajajaran
dengan Cirebon
1.
Silsilah
Walangsungsang Pendiri Cirebon
a.
Pernikahan
Pangeran Cakrabuwana dengan Nyai Indang Geulis
Walangsungsang
merupakan putra sulungnya Prabu Siliwangi, yang secara geneologis adalah ahli
waris tahta Kerajaan Pajajaran, namun beliau lebih cenderung mengikuti hidayah
Allah yaitu menganut, memperdalam, dan mensiarkan ajaran Islam, karena itu
Pangeran Cakrabuwana lebih suka berpindah-pindah belajar agama Islam dari
daerah satu ke daerah lain, yang pada akhirnya menetap di daerah baru di
wilayah pesisir yang terkenal dengan sebutan “Dukuh Carbon”.
Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuwana menikah dengan Nyai Indang Geulis putrid dari Reshi
Danuwarsih, dari pernikahannya itu mempunyai seorang putrid bernama Nyai Mas
Pakungwati yang menikah dengan Syarif Hidayatullah (keponakan Pangeran
Cakabuwana sendiri).
b.
Pernikahan
Pangeran Cakrabuwana dengan Nyai Retna Riris/Nyai Kancana Larang
Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuwana menikah dengan Nyai Retna Riris, putrid Ki Danusela atau
Ki Gedeng Alang-Alang, dari pernikahannya itu mempunyai seorang putra bernama
Pangeran Caruban. Pangeran Caruban menikah dengan Nyai Cupluk putrid Ki Gedeng
Trusmi, sekarang dijadikan nama Desa Trusmi. Kl 18 Km dari Kraton Kasepuhan
Cirebon. Dari pernikahannya itu mempunyai seorang putra bernama Bung Cikal yang
setelah dewasa bergelar Pangeran Manggana Jati. Selanjutnya tidak diketahui
keturunannya. Pangeran Caruban menikah lagi dengan Nyai Kancana Sari, putrid
Pangeran Panjunan, dari pernikahannya itu mempunyai seorang putra bernama Ki
Kuwu Carbon Girang, dan selanjutnya data keturunan tidak diketahui karena
menyatu dengan rakyat biasa.
c.
Pernikahan
Pangeran Cakrabuwana dengan Nyai Retna Rasa jati
Pangeran Cakrabuwana
menikah dengan Nyai Retna Rasa Jati, putrid Syeh Jatiswara di Cempa, jika
sekarang berada di daerah Provinsi Aceh Sumatera. Dari pernikahannya itu
mempunyai 7 putri yaitu : 1) Nyai Lara Sajati, 2) Nyai Jati Merta, 3) Nyai
Jemaras, 4) Nyai Mertasinga, 5) Nyai Ceumpa, 6) Nyai Lara Malasih, dan 7) Nyai
Laras Konda. Ketujuh putrid Pangeran Cakrabuwana di atas, data keturunannya
tidak diketahui, tetapi dengan rakyat biasa dan nama-nama tersebut diabadikan
pada nama desa atau tempat seperti Desa Jatimerta, Desa Jemaras, Desa
Mertasinga, dan Alas Konda yang kesemuanya itu berada di Kab. Cirebon. Dari
bukti-bukti tersebut merupakan satu indikasi bahwa keturunan Pangeran
Cakrabuwana tidak diketahui lanjutannya, sehingga oleh orang yang menghormati
dan para pengikutnya di abadikan melalui tempat tinggal atau wilayah para
pengikutnya itu menetap.
2.
Istri-Istri
Syarif Hidayatullah sebagai Penerus Kesultanan Cirebon dan Banten
Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung Djati sampai di Cirebon pada tahun 1470 M. Kedatangan Sunan
Gunung Djati di tanah kelahiran ibunya (Lara Santang atau Syarifah Mudaim)
bukan semata-mata melepaskan rasa rindu atau sono pada saudara-saudara ibunya,
namun lebih dari itu relungan nadi, denyutan hati dan dorongan jiwa untuk
mensiarkan Islam terus memacu dan bergelora.
a.
Nyai
Babadan
Selang satu tahun dari
kedatangannya di tanah Cirebon, ia menikah dengan Nyai Babadan, putrid Ki
Gedeng Babadan penguasa asal Galuh, tepatnya tahun 1471 M, namun pernikahannya
itu tidak mempunyai keturunan sampai wafat, tepatnya pada tahun 1477 M.
b.
Nyai
Kawung Anten
Pada tahun 1475, Syarif
Hidayatullah menikah dengan Nyai Kawung Anten, adiknya Bupati Banten, dari
pernikahannya itu mempunyai 2 orang anak yaitu Ratu Winaon dan Pangeran
Sabakingkin. Ratu Winaon, lahir pada tahun 1477 M dan setelah dewasa menikah
dengan Pangeran Atas Angina tau Pangeran Raja Lautan yang disebut juga Pangeran
Mohamad Al-Minangkabau, dari pernikahannya itu tidak diperoleh data
keturunannya.
Pangeran Sabakingkin
atau Sultan Hasanudin lahir pada tahun 1478 M dan setelah dewasa menikah dengan
Ratu Ayu Kirana, putrid Raden Patah, Sultan Demak. Setelah Hasanudin berusia 48
tahun, tepatnya pada tahun 1526 M, beliau diangkat menjadi Bupati Banten dan
setelah Sunan Gunung Djati wafat, Hasanudin diangkat menjadi panembahan
mengandung konsekuensi, bahwa Banten melepaskan diri dari perwalian Cirebon.
c.
Nyai
Mas Pakungwati
Nyai Mas Pakungwati
adalah putrid tersayangnya Pangeran Cakrabuwana, putrid Pakungwati memilikki
kepribadian terpuji, indikasi tentang itu Nampak pada tutur kata, tingkah laku
dan perbuatannya yang menunjukkan keteladanan hidup bagi seorang wanita di usia
dan zaman pada saat itu. Nyai Mas Pakungwati setelah dewasa menikah dnegan
Syarif Hidayatullah (keponakan bapaknya) tahun 1478 M, dari pernikahannya itu
tidak mempunyai keturunan.
d.
Putri
Ong Tien
Ong Tien adalah putrid
Kaisar Yu Wang Lo, ia berasal dari Cina dan menikah dengan Sunan Gunung Djati
tahun 1481 M, setelah menikah nama putrid Ong Tien diganti menjadi Ratu Mas
Rara Sumanding, dari pernikahannya itu mempunyai putra, tetapi meninggal ketika
dilahirkan. Pernikahan atau perjalanan hidup bersama dengan Sunan Gunung Djati
dirasa sepi, karena tidak mempunyai anak, atas dasar itu Ratu Mas Rara
Sumanding mengangkat anak yaitu putra Ki Gedeng Kemuning penguasa Kuningan yang
diberi nama Arya Kemuning dan setelah dewasa diangkat menjadi Adipati Kuningan
sebagai perwalian Kasultanan Cirebon. Usia pernikahan Sunan Gunung Djati dengan
putrid Ong Tien, berlangsung singkat yaitu 4 tahun lamanya, tahun 1481 M
menikah dan pada tahun 1485 M, putri Ong Tien meninggal dunia di Cirebon yang
dikebumikan di dalam lingkungan Astana Agung Gunung Djati di Gunung Sembung
Cirebon.
e.
Nyai
Lara Bagdad (Syarifah Bagdad)
Nyai Lara Bagdad adalah
adiknya Syarif Abdurakhman atau Pangeran Panjunan yang memilikki garis
keturunan dan ikatan darah dengan Syarif Abdullah (ayah dari Syarif Hidayatullah).
Sunan Gunung Djati menikah dengan Nyai Lara Bagdad pada tahun 1485, dari
pernikahannya itu mempunyai 2 orang putra yaitu Pangeran Jaya Kelana dan
Pangeran Bratakelana, kedua putra Sunan Gunung Djati menjadi anak mantu Raden
patah Sunan Demak. Pangeran Jayakelana lahir pada tahun 1486 M dan setelah
dewasa menikah dengan Nyai Ratu Pembayun putrid Raden Patah dari Demak, dari
pernikahannya itu tidak dikaruniai anak, karena Pangeran Jayakelana wafat dalam
usia muda 30 tahun, tepatnya pada tahun 1516 M, kemudian jandanya atau Nyai
Ratu Pembayun menikah dengan Fadhillah Khan.
Pangeran Bratakelana
atau Pangeran Gung Anom, lahir pada
tahun 1488 (selang dua tahun dengan kakaknya yaitu Pangeran Jayakelana), ketika
usianya menginjak 23 tahun, ia menikah dengan Nyai Ratu Nyawa putrid Raden
Patah Sultan Demak, namun pada tahun 1513 M atau selang dua tahun setelah
menikah, Pangeran Bratakelana wafat, karena dibajak di lautan, dari kejadian
ini Pangeran Bratakelana dikenal dengan sebutan Pangeran Sedhang Lautan.
Pangeran Bratakelana meninggal dari pernikahannya dengan Ratu Nyawa tidak
mempunyai anak, kemudian Nyai Ratu Nyawa menikah lagi dengan PAngeran Adipati
Pasarean atau Pangeran Mohamad Arifin, adik Pangeran Bratakelana dari lian ibu
atau “turun ranjang” tapi dari ibu yang berbeda.
f.
Nyai
Tepasari
Sunan Gunung Djati
menikah dengan Nyai Tepasari putrid Ki Gedeng Tepasari asal Majapahit, dari
pernikahannya itu mempunyai 2 orang anak yaitu Nyai Ratu Ayu dan Pangeran
Mohamad atau Adipati Pasarean. Nyai Ratu Ayu, lahir pada tahun 1493 M, setelah
dewasa menikah dengan Pangeran Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor putra Raden
Patah Sultan Demak tepatnya pada tahun 1511 dan selang 10 tahun Pangeran PAti
Unus wafat tahun 1521 M, dari pernikahannya itu tidak mempunyai anak, kemudian
Nyai Ratu Ayu dinikahkan dengan Fadhillah Khan pada tahun 1524 M.
Pangeran Mohamad Arifin
atau Adipati Pasarean lahir pada tahun 1495 ketika usianya mencapai 20 tahun,
menikah dengan Ratu Nyawa, janda kakaknya yaitu Pangeran Bratakelana, dari
pernikahan itu mempunyai 6 anak, yaitu : 1) Pangeran Ksatriyan, 2) Pangeran
Losari, 3) Pangeran Sawarga, 4) Pangeran Emas, 5) Pangeran Santana Panjunan,
dan 6) Pangeran Waruju.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan
antara lima orang anak Sunan Gunung Djati dengan empat orang anak dari Raden
Patah Sultan Demak, telah terjadi ikatan yang mendasar, baik secara historis,
geologis, cultural, dan religious, karena itu masyarakat Cirebon dengan Demak
hingga sekarang memilikki tradisi dan religious yang tidak jauh berbeda. Awal
berdirinya Keraton didasarkan pada prinsip pembinaan akhlaq dan aqidah Islam.
Perkembangan Cirebon dari sebuah dukuh berkembang menjadi desa sampai berbentuk
kerajaan, tidak lepas dari semangat pembinaan pribadi yang bermental muslim
yang secara kontinyu dilakukan oleh keturunan Pangeran Cakrabuwana dan Sunan
Gunung Djati. Kasultanan Kasepuhan yang sekarang ini telah beralih fungsi dari
fungsi Keraton sebagai pusat pemerintahan ke fungsi Keraton sebagai
pemeliharaan, perawatan, dan pelestarian nilai-nilai luhur dan tradisi Keraton.
Eksistensi itu sejalan dengan UU tentang Cagar Budaya No. 5 tahun 1992. Selain
itu, Sultan memilikki misi yang cukup besar, sebagai realisasi memikul tanggung
jawab Sunan Gunung Djati dalam rangka syiar Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Khasan
Effendy, Drs., M.Pd., dan Sumanang R. Dipaprana, Drs., Sm.Hk. ; Sunan Gunung
Djati Muara Terakhir Keluarga Raja-Raja Jawa Kulon : CV. Indra Prahasta,
Bandung
Ø Diktat
Ilmu Sosial Budaya Dasar
Ø Ir.
H. Wosa Karmita Qs, QVO ; Baluarti Kraton Kasepuhan
Utk yg pertalian raja raja jawa kulon sumber bukunya pinjam di mana ya?
BalasHapus